Filosofi Wayang
Wayang, yang
diartikan sebagai bayang, mengandung 2 makna yang tersirat, yaitu,
(1) bayangan yang
ditonton (dari belakang layar),
menggambarkan bahwa setiap perilaku manusia, baik atau buruk, dapat dilihat dan
dinilai oleh orang lain tanpa memandang fisik, jabatan atau kekayaannya dan,
(2) bentuk fisik
wayang, yang menggambarkan sifat dan perilaku setiap tokoh wayang tersebut.
Filsafat dunia wayang dijabarkan dalam 3 macam cara yaitu : sosok (bentuk),
karakter/sifat, dan ucapan/pandangan/ajarannya.
Setiap cerita dan
percakapan dalam pertunjukan wayang mengandung pelajaran hidup dan wejangan
(nasehat) yang bagus. Demikian pula karakter masing-masing wayang juga
menunjukkan bahwa sifat manusia bermacam-macam, sebab akibat dari perilaku
tokoh wayang dalam setiap cerita dapat menjadi inspirasi dan pelajaran hidup
bagi para penontonnya.
Muka wayang ada
yang berwarna merah, hitam, dan putih. Warna merah menunjukkan seorang yang
memiliki sifat tegas dan keras serta menjadi panutan bagi bawahannya. Warna
hitam menggambarkan seorang satria yang memiliki kemantapan diri sebagai
panutan, sedangkan warna putih menggambarkan sifat kedewataan (bersih,
bijaksana) atau sebaliknya perangai yang tak konsisten. Selain muka wayang,
ciri fisik lain seperti lengan wayang juga mengandung makna. Ada wayang yang
lengan atau tangannya dua, ada yang tangannya dua, tapi yang satu dimasukkan ke
saku (raksasa), dan lain-lain.
Pertunjukan
wayang selalu dilengkapi dengan layar yang disorot lampu (menggambarkan
matahari), dan tokoh wayangnya berdiri menancap di gedebok pisang (sebagai
bumi). Tokoh wayang digerakkan oleh dalang, yang juga menyampaikan cerita dan
percakapan antar tokoh wayang tersebut.
Gunungan Wayang
Gunungan
atau disebut juga kayon, selalu muncul dalam pertunjukan wayang. Gunungan ini
memiliki banyak fungsi, yaitu sebagai tanda dimulai/berakhirnyanya pertunjukan
wayang, tanda pergantian adegan/tempat, untuk menggambarkan suasana cerita
(sedih, gembira), atau keadaan tanpa tokoh wayang, atau untuk menggambarkan 3
unsur : air, api, atau angin.
Gunungan atau kayon ada 2
macam, yaitu Kayon Gapuran dan Kayon Blumbangan. Kayon Gapuran bentuknya
ramping dan lebih tinggi dari Kayon Blumbangan. Di bagian bawahnya berlukiskan
gapura, dan disamping kanan-kirinya dijaga dua raksasa kembar Cingkarabala dan
Balaupata. Bagian belakangnya berlukiskan api merah membara. Kayon blumbangan
yang lebih pendek, bagian bawahnya berlukiskan kolam dengan air yang jeernih.
Ada gambar ikan berhadap-hadapan di tengah kolam. Bagian belakang berlukiskan api
berkobar merah membara.
Pada setiap
gunungan yang melambangkan dunia seisinya, ada gambar rumah gedong atau balai
yang indah dengan lantai bertingkat tiga. Dua naga kembar bersayap dengan dua
ekornya habis pada ujung gunungan. Ada juga gambar hutan belantara yang subur,
gambar macan berhadapan dengan banteng, atau gambar pohon besar yang tinggi
dibelit ular besar. Dua ekor kera dan lutung sedang bermain di atas pohon. Dua
ekor ayam hutan sedang bertengkar di atas pohon.
Sebelum pagelaran
wayang dimulai, gunungan biasanya diletakkan di tengah layar. Gunungan ini bisa
diartikan sebagai lambang Pancer, yaitu jiwa atau sukma. Bentuknya yang
segitiga mengandung arti bahwa manusia terdiri dari unsur cipta, rasa, dan
karsa. Sedangkan lambang gambar segi empat melambangkan 4 unsur antara lain bumi,
air, api, tanah, dan udara.
Lukisan hewan
yang terdapat di dalam gunungan mengandung makna masing-masing :
1. Harimau : lambang roh, anasir api dengan sifat
kekuatan nafsu amarah
2. Banteng : lambang roh, anasir tanah, dengan
sifat nafsu aluamah,
3. Naga : lambang roh, anasir air, dengan sifat
kekuatan nafsu sufiah,
4. Burung Garuda : lambang roh, anasir udara
dengan sifat kekuatan nafsu muthmainah.
Ketika pagelaran
wayang kulit akan dimulai, dalang menarik gunungan ke bawah, yang bermakna
sebagai penjelmaan zat yagn pertama (gasang tumitis). Berhenti tiga kali
sebagai lambang dari adanya tiga tataran pembukaan tata mahligai : di kepala
(cipta), di dada (rasa), dan di bagian bawah perut (karsa).
Tokoh Brahala
Pada wayang
kulit, tokoh brahala digambarkan dalam bentuk wayang raksasa, paling besar
diantara wayang yang lain. Pada deretan wayang (janturan), brahala dipasang
paling belakang, di sebelah kiri dan kanan tokoh wayang lainnya. Tokoh wayang
ini merupakan bentuk jelmaan dari tokoh-tokoh yang dianggap suci dan
dikeluarkan saat sang tokoh sedang triwikrama (beralih rupa) karena amarah yang
memuncak.
Brahala, atau Brahalasewu, bentuknya ekstrem dan mengerikan. Digambarkan
sebagai raksasa sebesar gunung, berambut gimbal atau jabrik seperti api,
berkepala banyak, bertangan banyak dengan masing-masing memegang senjata. Tokoh
yang dapat beralih rupa menjadi Brahala antara lain : Batara Wisnu, Batara
Guru, Batara Ismaya, Prabu Kresna, Prabu Arjuna, atau Prabu Darmakusuma. Misalnya,
Prabu Arjuna Sasrabahu bertriwikrama menjadi Brahala sewaktu berperang dengan
Dasamuka dan berhadapan dengan Bambang Sumantri.
Tokoh Punakawan Wayang Kulit
Punakawan atau Panakawan artinya abdi setia. Para tokoh punakawan
mempunyai peran sebagai abdi atau pembantu tokoh-tokoh utama pewayangan. Tokoh
punakawan ini dalam cerita asli Ramayana maupun Mahabarata (versi India maupun Srilanka) tidak
dikenal. Cerita yang berkaitan dengan
tokoh-tokoh ini merupakan hasil kreatifitas para pujangga dan dalang Indonesia.
Oleh karena itu, sifat dan perilaku para tokoh punakawan ini pun sangat
mencerminkan budaya Indonesia.
Tokoh punakawan
Versi wayang kulit
Jawa Tengah dan Jawa Timur: Semar Badranaya, Petruk, Gareng, dan Bagong. Untuk
beberapa daerah lain, ada sedikit perbedaan. Misalnya di wayang golek Sunda,
tidak dikenal Bagong dan Petruk, melainkan Cepot dan Dawala (Dewala). Petruk
dalam wayang kulit Jawa Tengah adalah Dewala dalam Wayang Golek Sunda
Sedangkan Cepot,
sebagai pengganti Bagong, memiliki ciri fisik yang sedikit berbeda. Selain itu,
kalau Bagong adalah anak bungsu Semar, Cepot merupakan anak sulung Semar dalam
cerita wayang golek Jawa Barat. Di daerah Cirebon, tokoh Bagong dikenal dengan
nama Lamsijan. Di daerah Banyumas, dikenal dengan nama Bawor.
Meskipun di
beberapa daerah memiliki nama dan ciri fisik yang agak berbeda, namun cerita
tokoh punakawan pada dasarnya sama, yaitu mempunyai peran sebagai abdi/pelayan
tokoh utama. Tokoh punakawan juga menggambarkan sebagai rakyat
jelata diantara para kesatria dan raja-raja. Selain itu, penampilan tokoh
punakawan juga mempunyai fungsi untuk menghibur dan menjadi penghubung
komunikasi antara dalang dan penonton.
Semoga menjadi manfaat bagi saudara kita yang penyuka
seni budaya daerah.
motto
- Warisan
budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
- Melestarikan budaya
nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar