Karna Tanding (Karna
Gugur)
Tak diceritakan
bagaimana suasana ketika Adipati Karna bertemu dengan istri tercintanya,
Surtikanti. Yang terjadi kemudian adalah waktu pagi yang terik, dimana
pertempuran sengit berkecamuk kembali di padang Kurukasetra yang sudah berhari
hari menjadi panggung ajang drama pertempuran yang mengerikan. Sisa sisa tenaga
prajurit yang kini mulai jenuh dan lelah, hanya punya pilihan, segera perang
selesai. Entah dirinya yang menjadi korban atau ia membunuh lawan lawannya
dengan cepat.
Hawa panas
menjelang penghujan menyengat menguatkan bau anyir darah dan busuk bangkai
manusia dan hewan tunggangan para adipati serta segenap pembesar perang yang
tak lagi sempat dirawat oleh sesama prajurit. Berserakan senjata yang
bergeletakan mencuat diantara reruntuhan kereta perang, sungguh membuat
meremang bulu kuduk orang orang yang bermental lemah. Belum lagi erangan para
prajurit terluka menahan rasa sakit yang tak terkira, tetapi tidak kunjung ajal
menjemput. Suara rintihan itu bagai nyanyian peri prayangan. Sementara burung
gagak pemakan bangkai berputar kekitar diangkasa yang biru dengan gumpalan awan
disana sini, menanti kapan waktunya untuk kembali berpesta pora.
Di salah satu
sisi medan pertempuran, terdengar pembicaraan dua orang prajurit yang sama sama
terluka, entah kepada sesama teman atau lawan. Yang mengalami luka serius
menyandar pada pokok pohon kering, sementara lawan bicaranya tadi tertelungkup
dengan sesekali terbatuk memuntahkan darah segar dari mulutnya.
“Sesungguhnya
apakah yang kita dapat dari peperangan yang kita jalani, kisanak?
“Inilah yang kita dapat! Kebinasaan! Hukum alam telah menuliskan, keseimbangan alam telah mengharuskan manusia melakukan kekerasan, saling baku bunuh untuk kembali ke keseimbangan baru, baik itu melewati perang seperti ini, bencana alam, atau manusia dengan sadar mengerem lajunya jumlah turun. Kita ini sedang ada didalam bagian dari putaran proses itu, kisanak”.
“Inilah yang kita dapat! Kebinasaan! Hukum alam telah menuliskan, keseimbangan alam telah mengharuskan manusia melakukan kekerasan, saling baku bunuh untuk kembali ke keseimbangan baru, baik itu melewati perang seperti ini, bencana alam, atau manusia dengan sadar mengerem lajunya jumlah turun. Kita ini sedang ada didalam bagian dari putaran proses itu, kisanak”.
Keduanya
berbincang diantara desing anak panah dan denting senjata serta gelegarnya
meriam dengan sesekali berhenti menahan rasa sakit, suara pembicaraan keduanya
kadang tertelan oleh kemeretak roda kereta dan derap ladam kuda yang melintas
disekitar mereka. Sementara kepulan debu dan asap sendawa mengepul
menyesakkan nafas.
Diceriterakan,
adalah Raden Sanjaya. Yang merasa tertantang setelah bertemu dengan Wara
Srikandhi dan menyatakan hendak memberi sesumbang jiwa raga terhadap para
Pandawa. Akan tetapi niat baik Randen Sanjaya telah dianggap sebagai manusia
yang bersifat oportunis.
“Sanjaya, kalau
kamu hendak membela para Pandawa, kenapa tidak dari semula, kenapa baru
sekarang ketika Kurawa sudah lemah, ketika kamu sudah merasa, tak akan para
Kurawa menang atas Pandawa. Apakah itu jiwa dan watak seorang prajurit?.
Apakah itu bukan manusia yang bertujuan untuk mencari kemuliaan dan kesenangan
belaka?. Apakah sekiranya bila kamu tidak bergabung dengan para Pandawa,
Pandawa tidak akan menang? Malah aku kira, permintaan bergabungnya kamu
dengan para Pandawa adalah sebagai mata mata. Kenapa aku sebut begitu, karana
sejak lahir, kamu adalah warga Panggombakan yang ada dalam wilayah Astina!”.
Tersentuh rasa
panas hati Sanjaya yang dituding mencari kemuliaan atas kemenangan Pandawa,
maka ia bersumpah akan menandingi kesaktian Adipati Karna. Berangkat ke medan
perang Sanjaya dengan hati terluka oleh tuduhan yang tidak beralasan dari Wara
Srikandi. Andai saja Sumbadra tidak terlambat dalam mencegah keberangkatan
Sajaya yang sudah melangkah ke medan Kuru, maka mungkin kejadiannya akan
berbeda. Memang Wara Sumbadra tahu, betapa ayah dari Senjaya, Raden Yamawidura,
adalah seorang yang berjasa sangat besar pada Pandawa. Ketika terjadi peristiwa
bale Sigala-gala, orang tua Sanjaya telah membaui hal yang mencurigakan ketika
pesta itu diadakan oleh usul Sengkuni. Ketika itu Raden Yamawidura
menyelamatkan para Pandawa dari api yang membakar pesanggrahan mereka, ketika
mereka terbius tidur oleh para Kurawa. Kemudian mereka membakar habis seluruh
pesanggrahan.
Yamawidura yang menjelma
menjadi garangan putih, telah membuat lubang bawah tanah menembus sapta pratala
dan menyelamatkan kemenakannya. Kemenakan yang selalu terlihat benar dimatanya,
tetapi karena sesuatu hal ia harus sembunyi-sembunyi menyelamatkannya. Hal
itulah yang dikatakan Wara Sumbadra kepada Wara Srikandi, yang kemudian telah
membuat sesal dihati Srikandi.
Namun rasa
bersalah Wara Srikandi ketika mendengar keterangan dari Sumbadra, menjadi tidak
berarti, ketika putra Yamawidura itu telah melangkah ke palagan.
Maka didalam
peperangan Kurusetra itu, Sanjaya mencari sosok Adipati Karna. Ia hendak
memperlihatkan kesungguhannya dalam menyatakan diri ada di pihak Pandawa. Ia
berteriak lantang menantang Adipati Karna.
Ketika putra
Awangga kedua yaitu Raden Wersasena mengetahui ayahnya ditantang oleh Raden
Sanjaya, kemarahan anak muda itu terbangkit. Dihampirinya Sanjaya, ia tidak
rela bila ayahnya ditantang oleh sesama anak muda lain.
“Heh Sanjaya!
Sejak kapan kamu telah memberontak terhadap negara yang telah menghidupimu,
yang telah memberi kumuliaan terhadap orang tuamu dan keluargamu?”.
“Sejak dulu
memang aku lebih bersimpati terhadap putra uwa’ Pandu Dewanata. Sekaranglah aku
hendak memperlihatkan betapa aku telah merasa salah, membiarkan saudara tuaku
para Padawa ada dalam kesengsaraan yang berlarut larut. Sekarang katakan,
dimana senapati Kurawa berada?”
“Tak usah kamu
mencari dimana senapati itu, hadapi dulu putra Awangga sebagai putra senapati.
Langkahi dulu mayatku sebelum kamu bisa berhadapan dengan ayahku!”.
“Baik, akan aku
turuti kata katamu. Waspadalah!”
Pertempuran dua
anak muda itu berlangsung sengit. Kelihatan mereka mencoba mengerahkan segenap
kesaktiannya, untuk menentukan siapa salah satunya yang harus tewas ditangan
masing masing.
Semakin lama semakin tegas terlihat, bahwa Sanjaya lebih unggul daripada Warsasena. Ketika sampai di puncak kemampuannya, Sanjaya menyudahi perlawanan Warsasena dengan menewaskannya. Kemarahan Adipati Karna tidak terbendung ketika mendengar anak lelakinya yang tinggal satu telah tewas.
Sorak sorai bala
tentara telah mengatakan akhir dari pertempuran kedua anak muda itu. Segera
Adipati Karna mendekati Sanjaya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Pertempuran kembali terjadi. Tetapi kesaktian Sanjaya ternyata tidaklah imbang
dihadapan Adipati Karna. Sekarang berganti, terdesak Sanjaya, dan tak lama
kemudian keris Kyai Jalak mengakhiri hidup Raden Sanjaya. Ia gugur dalam
usahanya membuktikan darma baktinya terhadap saudara saudara sepupunya para
Pandawa.
Diceriterakan,
telah tiba saat kedua satria pilihan dari kedua pihak akan bertemu dalam
pertempuran atas nama darma satria. Ketika telah terdengar aba-aba bahwa
Senapati dari Pihak Wirata telah siap siaga, maka segera Adipati Karna meloncat
menaiki kereta perangnya. Tetapi oleh suasana hati Prabu Salya yang masih tetap
panas, ada saja masalah kecil yang menjadikannya tidak berkenan. Ketika melihat
menantunya telah menaiki kereta, dan ia masih ada dibawah, kemarahannya kembali
meledak. “Apakah kamu bukan manusia yang mengerti tata bagaimana menghormati
orang tua, keparat! Orang tua masih dibawah, kamu sudah duduk nangkring
diatas kereta!”.
Namun Adipati
Karna mencoba membela diri, serba salah telah mendera hatinya dari waktu ke
waktu “Mohon seribu maaf rama Prabu, maksud hamba dari semula,
adalah hanya menetapi darma. Disini derajat kusir ada dibawah senapati”.
“Sudah tak
terhitung berapa kali rasa sakit yang pernah melukai hatiku karena kelakuanmu.
Sewaktu Prabu Kresna menjadi duta di awal perang kemarin, kamu sudah melukai
hatiku dalam pasamuan agung. Belum sembuh luka itu, sekarang kamu melakukan hal
yang sama, aku kamu jadikan seorang kusir. Kalau tidak sungkan dengan anak
Prabu Duryudana, aku tidak sudi melihat mukamu yang membuat aku muak. Dan kamu
tidak berwenang untuk memerintah aku!”.
Kejengkelan Prabu Salya tidak
juga reda.
“Rama, sekali
lagi putra paduka mohon maaf, kami persilahkan rama Prabu untuk menaiki
kereta. Ketahuilah rama, sudah ada tanda tanda dalam diri putramu, detak
jantung di dada ini mengisyaratkan
kematian putramu sudah menjelang. Kami persilakan rama Prabu untuk mengantarkan
kematianku, rama Prabu . . . ”.
Campur aduk perasaan kedua manusia menantu dan mertua
itu mengawali langkahnya menuju ke palagan peperangan. Inilah titik dimana
perasaan yang tidak sepenuhnya bulat telah melemahkan moral perang senapati
Kurawa.
Baru saja kereta
bergerak, mendadak melayang bagai awan hitam bergulung diatas palagan. Itulah
Naga Raja Guwa Barong, Prabu Hardawalika. Seekor naga yang mengincar
kematian Arjuna. Adipati Karna yang melihat keanehan naga mengarah ketempat ia
bersiap, segera menghentikan laju geraknya dan menanyakan maksudnya “Heh kamu
mahluk yang mencurigakan, siapa kamu dan apa maksudmu membuat keruh suasana
peperangan!”.
“Aku penjelmaan
raja raksasa dari Guwa Barong. Aku bermaksud hendak membantu kamu menandingi
Arjuna”. Naga raksasa itu dengan tidak ragu mengatakan maksudnya.
Tetapi sungguh
tidak disangka, jawaban yang diterima adalah bentakan yang menyuruhnya ia
pergi. “ Heh naga mrayang, Arjuna adalah saudaraku. Kalaupun aku berselisih
sehari tujuh kalipun, tak akan pecah persaudaraanku menyingkirlah atau akan aku
percepat sempurnanya kematianmu!”.
“Haaah . .
perbuatan yang sia sia. Ternyata aku mengatakan hal ini kepada tempat mengadu
yang salah. Tetapi hal ini tidak akan menghalangiku untuk membalas kematianku
moyangku”. Melayang kembali Hardawalika kearah berlainan untuk mencari
keberadaan Arjuna.
Kresna yang tidak
pernah terhalangi kewaspadaanya sedikitpun, segera tahu apa yang ada
dihadapannya, ketika awan mendung tiba tiba membayang diatasnya.
“Arjuna, diatas
pertempuran itu ada seekor naga penjelmaan Prabu Hardawalika. Lepaskan panahmu,
sempurnakan kematian Prabu Hardawalika”.
Tidak lagi
membuang waktu, segera dipentangnya busur yang telah diisi anak panah. Melesat
anak panah menempuh bayangan naga, sirna seketika ujud dari naga Hardawalika
yang kembali membuat suasana palagan menjadi terang.
Syahdan, kedua
Senapati dari kedua belah pihak telah sama sama bergerak mendekat. Maka suasana
palagan peperangan menjadi gaduh, kemudian setelah jarak keduanya menjadi
semakin dekat kejadiannya justru menjadi terbalik. Peperangan segera terhenti
bagai dikomando. Suasana yang berkembang menjadikannya Arjuna termangu. Prabu
Kresna yang melihat suasana hati Arjuna segera dapat menebak apa yang
dipikirkannya.
“Arjuna, tatalah
rasa hatimu! Hari ini sudah sampai waktumu harus meladeni tanding dengan
kakakmu, Adipati Karna”.
“Kanda,
bagaimankah hamba dapat melayani tanding yuda dengan kanda Adipati Karna.
Suasana beginilah yang selalu mengingatkan akan Ibu Kunti” keluh Arjuna.
Kresna telah tahu
apa yang melatar belakangi maksud dari keberpihakan Karna terhadap Kurawa. Hal
itu telah ia dengar sendiri tatkala ia bertemu dengannya empat mata, ketika ia
telah usai menjadi duta terakhir sebelum pecah perang. Semuanya bagi Kresna
sudah tidak ada hal yang meragukan. Namun ia tidak mengatakan apapun tentang
itu terhadap Arjuna.
“Adikku, hari ini
pejamkan matamu, tutuplah telingamu. Kamu hanya wajib mengingat satu hal, darma
seorang satria yang harus mengenyahkan kemurkaan. Walaupun saudaramu itu adalah
salah satu saudara tuamu, tetapi ia tetaplah ada pada golongan musuh. Dan
ketahuilah, bahwa majunya kakakmu Adipati Karna itu, tidak seorangpun yang
ditunggu, kecuali dirimu. Dan tidak ada seorangpun di dunia ini yang diwajibkan
untuk mengantarkan kematiannya, kecuali dirimu.
Mari aku dandani
kamu sebagaimana layaknya seorang senapati, dan akulah yang akan menjadi
kusirmu”. Selesai berdandan busana Keprajuritan, segera mereka menaiki kereta
Prabu Kresna, kereta Jaladara. Kereta perang dengan empat ekor kuda yang
berasal dari empat benua yang berwarna berbeda setiap ekornya, merupakan hadiah
Para Dewa. Bila dibandingkan dengan kereta Jatisura milik Adipati Karna yang
telah remuk dilanda tubuh Gatutkaca, kesaktian kereta Jaladara bisa berkali
kali lipat kekuatannya.
Suasana
berkembang makin hening, diangkasa telah turun para dewata dengan segenap para
durandara dan para bidadari. Mereka hendak menyaksikan peristiwa besar yang
terjadi dipadang Kuru. Sebaran bunga bunga mewangi turun satu satu bagai kupu
kupu yang beterbangan.
Karna yang
melihat kedatangan Arjuna berhasrat untuk turun dari keretanya. Kresna yang
melihat keraguan memancar dari wajah Arjuna mengisyaratkan untuk menyambut
kedatangannya. Berkata ia kepada Arjuna
“Lihat! Kakakmu
Adipati Karna sudah turun dari kereta perangnya, segera sambut dan ciumlah
kakinya”.
Arjuna segera
turun berjalan mendapatkan kakak tertua tunggal wadah dengannya “Baktiku kanda Adipati”, Arjuna duduk
bersimpuh dihadapan Adipati Karna setelah menghaturkan sembahnya.
“Arjuna, seumpama
aku seorang anak kecil, pastilah aku sudah menangis meraung raung. Tetapi
beginilah orang yang menjalani kewajiban. Aku bela bela diriku membutakan mata
menutup rasa hati untuk mencapai kamukten. Sekarang aku sudah mendapatkannya
dari Dinda Prabu Duryudana. Dan sekarang aku harus berhadapan dan tega berkelahi
sesama saudara sekandung” Karna menumpahkan isi hatinya.“Kanda Adipati, hamba
disini memakai busana senapati bukan untuk menandingi paduka kanda Prabu.
Tetapi membawa pesan dari ibu kita, Kunti, untuk kembali berkumpul bersama
saudara paduka Para Pandawa. Air mawar bening pembasuh kaki sudah
disiapkan oleh adik adik paduka, Kanda Adipati”. Arjuna mencoba meluluhkan hati
kakak tunggal ibu itu.
Kembali Adipati
Karna menegaskan apa yang terrasa didalam hatinya. “
Lihat, air mataku
jatuh berlinangan. Tetapi aku katakan, tidak tepat apa yang kamu katakan. Sudah
berulang kali kamu memintaku untuk berkumpul bersama sama dengan saudaraku
Pandawa. Begitu juga dengan Kanda Prabu Kresna, yang ketika itu datang kepadaku
dan bicara empat mata. Sekarang sama halnya dengan dirimu, yang juga kembali
mengajakku untuk berkumpul bersama. Bila aku menuruti permintaanmu, hidupku
akan seperti halnya burung yang ada dalam sangkar emas. Tetapi hidupku tidak
bisa bebas. Hidupku hanya kamu beri makan dan minum belaka. Apakah kamu senang
bila mempunyai saudara dengan keadaan seperti yang aku katakan?”.
Sejenak mereka
berdua saling berdiam diri. Sesaat kemudian Karna melanjutkan.”Tak ada
seorangpun didunia ini yang dapat mengantarkan aku menuju alam kematianku,
kecuali hanyalah dirimu, dinda Arjuna! Dan bila aku nanti mati dalam
perang tanding itu, sampaikan baktiku pada ibunda Kunti, yang tak sekalipun aku
memberi ketentraman batin dalam hidupnya . . . “
Serak terpatah
patah suara Adipati Karna ketika ia melanjutkan curahan isi hati terhadap
Arjuna.
Kembali susana
menjadi hening. Akan tetapi tiba tiba ia berkata dengan nada tegas. “Hari
ini adalah hari yang baik. Ayolah kita bertanding untuk menentukan siapa yang
lebih perwira, lebih bertenaga, lebih sakti!”.
“Kanda, berikan
kepadaku seribu maaf atas kelancangan hamba berani dengan saudara yang lebih
tua”. Kembali Arjuna menghaturkan sembah, berkata ia, yang kemudian
mengundurkan diri kembali menaiki kereta Jaladara.
Maka perang
tanding dengan andalan ketepatan menggunakan anak panah berlangsung dengan
seru. Keduanya sesama putra Kunti tidak sedikitpun berbeda ujudnya dalam busana
keprajuritan. Keduanya menggunakan topong yang sama, sehingga banyak prajurit
yang sedari tadi berhenti menonton sulit untuk membedakan yang mana Arjuna dan
manakah yang Karna, kecuali pada kereta yang dinaikinya.
Pada suatu ketika
topong kepala Adipati Karna terpental terkena panah Arjuna.
Sejenak Karna
meminta Prabu Salya untuk berhenti, dan berkata.
“Rama prabu,
hampir saja hamba menanggung malu. Topong kepala hamba terpental oleh panah adi
Arjuna”.
“Sudah aku
katakan, tak hendak aku ikut campur dalam peristiwa ini. Aku hanya kusirmu.
Tapi kali ini mari aku benahi rambutmu biar aku gelung”. Setengah hati Prabu
Salya mendandani kembali putra menantunya.
Kembali adu
ketangkasan olah warastra berlangsung. Kali ini Kunta Wijayandanu ada ditangan
Karna. Waspada Prabu Salya dengan melihat senjata kedua setelah Kunta Druwasa
yang telah sirna digunakan oleh Adipati Karna ketika berhadapan dengan
Gatutkaca. Maka pada saat menantunya itu melepas anak panah, kendali kereta
ditarik, kemudian kuda melonjak. Panah yang sejatinya akan tepat mengenai
sasaran, hanya mengenai topong kepala Arjuna dan mencabik segenggam rambutnya.
“Aduh Kanda
Prabu, tolong hamba jatuh terkena panah kanda
Adipati. Apakah ini sebagai perlambang kekalahan yang akan menimpa hamba?”.
Arjuna menanyakan.
“Bukan! Itu
peristiwa biasa. Biarlah aku tambal rambutmu dengan rambutku. Sekarang aku akan
menggelung rambutmu kembali”. Jawab Kresna, yang kemudian menerapkan kembali
gelung rambut baru pada kepala Arjuna.
Kembali kedua
putra Kunti berdandan dengan cara yang sama. Semakin bingung para yang melihat
pertempuran dua satria yang hampir kembar itu. Bahkan para dewata dan segenap
bidadari dan durandara, melihatnya dengan terkagum.
Adu kesaktian
telah berlangsung lama, segala macam kagunan dan ilmu pengabaran telah
dikeluarkan. Saling mengimbangi dan saling memunahkan kawijayan antara
kesaktian mereka berdua.
Namun Arjuna
masih memegang satu senjata yang belum digunakan. Itulah panah Kyai Pasupati,
yang bertajam dengan bentuk bulan sabit.
“Arjuna!”, Kresna
memberikan isyarat, “Sekaranglah saatnya!. Hanya sampai disini hidup kakakmu
Adipati. Segera lepaskan senjatamu Pasupati untuk mengantarkan kakakmu ke alam
kelanggengan!”.
Panah Pasupati
telah tersandang pada busur gading Kyai Gandewa, lepas anak panah berdesing
bagai tak terlihat. Walau Arjuna melepaskannya sambil memejamkan mata karena
tak tega dan rasa bersalah, namun panah dengan bagian tajam yang menyerupai
bulan sabit itu mengenai leher Adipati Karna.
Tajamnya Kyai
Pasupati tiada tara, sampai-sampai, kepala Adipati Karna dengan senyum yang
masih tersungging dibibirnya tak bergeser sedikitpun dari lehernya. Jatuh
terduduk jasad Adipati Karna bersandarkan kursi kereta. Geragapan Prabu Salya
yang merasa khawatir dan setengah bersalah. Turun dari kereta ia, kemudian
menghilang dari pabaratan, kembali ke Bulupitu.
Namun kejadian
sejak dari awal pertempuran tadi, tidak terlepas dari sepasang mata yang selalu
mengawasi setiap gerakan sekecil apapun yang dilakukan Prabu Salya. Itulah
sepasang mata Aswatama!
Banyak sekali
versi tentang cerita Karna Tanding. Petikan dan suntingan dari pagelaran demi
pagelaran wayang purwa diatas, adalah salah satunya yang terpilih untuk
diketengahkan.
dalam versi lain,
saat tanding lawan arjuna, kereta perang Karna terperosok
ke dalam lumpur. sesuai dengan kutukan dari guru Karna yaitu Ramaparasu atau
Ramabargawa. Pada saat membetulkan roda kereta yang terperosok itulah, Kresna memerintahkan Arjuna
membidik Karna. Gugurlah Karna dengan kepala terpenggal panah Arjuna.
(Syahdan, Karna menyamar sebagai seorang brahmana
agar dapat diterima menjadi murid Ramaparasu, karena Ramaparasu tidak mau
menerima murid dari golongan ksatria. Pada suatu saat terbongkarlah kebohongan
Karna. Merasa ditipu dan dikhianati,
keluarlah kutukan dari sang guru.)
sumber: cerita wayang Indonesia
Semoga menjadi manfaat bagi saudara kita yang penyuka
seni budaya daerah.
motto
- Warisan
budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
- Melestarikan budaya
nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar