Melestarikan Aset Bangsa
Secara
sederhana kita dapat mengatakan bahwa melestarikan berarti memelihara atau
menyimpan baik-baik sesuatu agar tidak lenyap begitu saja. Namun pelestarian,
apapun, sesungguhnya tidak sesederhana itu. Pelestarian bertujuan untuk
menjadikan sesuatu tetap ada seperti aslinya, tidak rusak, tidak musnah.
Pelestarian khasanah budaya bangsa memang dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Perpustakaan dapat membuat program kegiatan yang mendorong masyarakat lebih
banyak menulis mengenai seluruh aspek budaya bangsa untuk
didokumentasikan. Perpustakaan dapat melakukan kegiatan untuk lebih
menyebar-luaskan informasi dan literatur mengenai semua aspek budaya bangsa,
serta berbagai program kegiatan lain yang dapat membuat seluruh lapisan
masyarakat sadar, mengetahui dan tidak asing dengan informasi seluruh aspek
budaya bangsa. Tentu saja perpustakaan tidak dapat bekerja sendiri.
Perpustakaan harus selalu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dan komponen
masyarakat, termasuk tentu saja dengan lembaga-lembaga terkait. Namun program
kegiatan yang tidak kalah pentingnya dan sama sekali tidak dapat dilupakan
adalah tindakan menjaga khasanah budaya bangsa yang sudah terekam dan sudah
tersimpan sebagai koleksi di perpustakaan dan di seluruh lembaga yang bertugas
menyimpan dan mengoleksi dokumen dan informasi budaya bangsa di seluruh
Indonesia. Salah satu caranya, seperti yang sudah diuraikan diatas, adalah
melakukan usaha preventif untuk mencegah sedini mungkin dan secara efektif
meminimalkan kehilangan aset budaya bangsa.
Menurut
penulis, hal pertama yang perlu disadari adalah bahwa pelestarian harus diawali
dengan apresiasi. Persoalannya adalah kesadaran mayoritas masyarakat kita untuk
memelihara sesuatu masih sangat minim, apalagi kalau menyangkut milik umum. Hal
ini dapat kita buktikan dari perilaku sehari-hari masyarakat yang kurang peduli
kepada fasilitas umum, seperti telepon umum (banyak yang sengaja dirusak),
halte (penuh dengan coretan dan pengrusakan), dan lain-lain. Artinya, belum
muncul iklim preservasi yang optimal. Keinginan memelihara suatu produk budaya
biasanya bersifat sporadis dan hanya dilakukan oleh kelompok tertentu yang
menganggap produk tersebut penting bagi mereka. Merujuk pada konsep
pelestarian, ada tiga hal pokok yang menjadi permasalahan utama dalam
pelestarian khasanah bangsa, yaitu : pengumpulan , pengolahan, dan akses.
Pengumpulan, merupakan kegiatan awal yang
menentukan sebuah aset bangsa akan disimpan. Pemerintah atau lembaga terkait
harus dapat meyakinkan bahwa setiap hasil budaya yang dibuat harus memiliki
arsip di tempat tertentu. Pengumpulan juga dapat menjadi gambaran tingkat
kreatifitas pekerja seni dari segi kuantitas. Masyarakat dengan mudah dapat
mengetahui berapa jumlah budaya Indonesia yang dibuat dalam satu tahun.
Pengumpulan dapat melibatkan lembaga pendidikan, rumah produksi, pekerja seni,
dan perpustakaan.
Pengolahan, berkaitan dengan pemeliharaan agar
hasil budaya bangsa tersebut tetap utuh seperti aslinya. Mengingat berbagai
hasil budaya yang cenderung rapuh, maka diperlukan kebijakan pengolahan yang
tepat, khususnya menyangkut fasilitas penyimpanan agar tidak cepat rusak.
Pengolahan juga berkaitan dengan akses kepada masyarakat luas. Perkembangan
teknologi dewasa ini sangat memungkinkan untuk melakukan pengolahan dengan
mudah. Teknologi digital dan penyimpanan (storage) memungkinkan kita untuk
mengolah koleksi budaya dan menjadikannya bagian dari bahan pustaka. Pengolahan
dapat melibatkan Perpustakaan.
Akses, maksudnya adalah bagaimana
masyarakat dapat mengakses koleksi budaya banga dengan mudah. Selama ini
pemerintah dan pekerja seni lebih fokus pada pembuatan dan penyimpanan, tapi
jarang memikirkan persoalan akses. Jika kita sepakat bahwa hasil budaya adalah
cerminan sejarah dan budaya bangsa, bukankah seharusnya juga menjadi milik
publik. Jika buku dengan mudah dapat dibeli di toko buku atau diakses di
perpustakaan, bukankah hasil budaya juga seharusnya ’mudah’ diakses? Akses ini
sangat penting karena sesungguhnya sesuatu yang secara fisik ada, tidaklah
berarti kalau tidak dilihat dan diketahui orang lain. Hasil budaya hanya dapat
lestari jika masyarakat memang mengetahui makna apa yang terkandung dalam hasil
budaya tersebut, dan untuk itu aksesnya harus dipermudah. Akses dapat dilakukan
di perpustakaan-perpustakaan yang memang dekat dengan masyarakat luas.
Siapa
Yang Harus Melestarikannya.
Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia (PNRI) ataupun seluruh perpustakaan adalah lembaga
yang memiliki kewajiban menyimpan seluruh karya cetak dan karya rekam yang ada
di negeri ini. Lalu ada lembaga lain, yaitu Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI) yang juga mempunyai tanggung jawab menyimpan arsip berbagai bentuk hasil
budaya. Walaupun dengan proporsi yang berbeda, ke dua lembaga di atas memiliki
tanggung jawab nyata dalam pelestarian aset bangsa ini, namun keterlibatan ini
juga menimbulkan ketidakjelasan karena terjadinya duplikasi pekerjaan dan
tanggung jawab. Karena itu pemerintah perlu mendukung dengan kebijakan yang
tegas, relevan, serta menyediakan dana yang memadai. Kebijakan yang dimaksud
adalah menyangkut pembuatan peraturan sesuai dengan kebutuhan di lapangan dan
melibatkan masyarakat seni menyusun kebijakan tersebut.
Sedangkan
mengenai dana, secara formal pemerintah harus dengan tegas menjadikan
pelestarian sejarah dan budaya bangsa sebagai APBN . Disamping itu juga
pemerintah perlu melibatkan perusahaan atau para pengusaha untuk memberi
kontribusi dalam hal dana. Di sisi lain, pemerintah juga dapat memberdayakan
unsur pendidikan melalui sekolah untuk meningkatkan kesadaran mengenai
pentingnya pelestarian hasil budaya. Kurikulum di sekolah dapat dirancang
sedemikian rupa yang mengarah pada apresiasi para siswa terhadap hasil budaya,
misalnya dengan mengadakan acara menonton bersama atau membahas suatu film
budaya secara bersama-sama. Kegiatan yang lebih bermanfaat tentu dengan
mengadakan kajian-kajian atau penelitian ilmiah tentang semua hasil budaya yang
dimiliki Indonesia. Di pihak lain, masyarakat harus terus memberikan masukan
positif dan terlibat aktif dalam pelestarian hasil budaya. Banyak kalangan yang
dapat berperan dalam hal ini, seperti masyarakat pencinta budaya, wartawan
budaya seni, dan kalangan akademik.
1. Pelestarian
Muatan Lokal
Beberapa
naskah kuno (manuscript) yang sangat terkenal seperti Negara Kertagama,
Sutasoma, Babad Giyanti dan lain sebagainya memiliki nilai historis bangsa yang
perlu dilestarikan, dan dikaji isinya sebagai bekal pembangunan dalam membentuk
jati diri bangsa dan dapat diwariskan kepada generasi penerus. Selain masalah
pemanfaatan pusaka budaya yang tidak maksimal, masalah lain yang muncul adalah
keberadaannya yang sulit dilacak. Beberapa naskah asli Indonesia diketahui
tersebar di negara-negara lain, seperti Malaysia, Belanda dan lain sebagainya.
Begitu banyak muatan lokal (local content) yang ditulis pada naskah-naskah
tersebut baik berisi rekaman peristiwa, sejarah, maupun adat istiadat dari
berbagai aspek kehidupan manusia di Indonesia. Hal ini diupayakan sebagai langkah
penyelamatan aset budaya bangsa agar tidak kehilangan mata rantai perkembangan
kebudayaan dari zaman dulu sampai dengan sekarang.
Seiring
dengan perkembangan zaman, warisan pusaka budaya bangsa Indonesia dirasa kurang
mendapat perhatian dan dukungan baik dari pemerintah maupun para pewaris pusaka
budaya itu sendiri sehingga tidak heran jika banyak benda pusaka budaya
kondisinya tidak terawat dan tercerai berai di banyak tempat. Kurangnya
pemahaman akan arti pusaka budaya serta tidak adanya dana untuk merawat
benda-benda pusaka budaya dijadikan alasan untuk melakukan penjualan
benda-benda pusaka. Maka tak heran jika peninggalan leluhur itu tercecer di
banyak negara. Khusus untuk manuskrip dengan bahan kertas, lontar, bambu dan
kulit kayu yang banyak terdapat di tanah air, kondisi fisiknya sangat
memprihatinkan dan cenderung bertambah parah jika tidak diselamatkan.
Bukan
itu saja, bahkan kasus yang masih segar dalam ingatan kita sangat mencoreng
martabat bangsa yaitu diklaimnya warisan budaya dan seni asli milik Indonesia
oleh negara lain tanpa negara mampu berbuat apa-apa karena tidak bisa
membuktikan bahwa ia adalah hak milik sah bangsa Indonesia. Penyebabnya adalah
karena kurang tanggapnya negara (pemerintah) dalam mematenkan karya cipta
budaya bangsa dan lemahnya diplomasi kebudayaan di tingkat internasional. Dan
akar dari semua itu bersumber dari kurangnya kepedulian dan penghargaan
terhadap warisan budaya nasional. Kalau sudah terjadi demikian, barulah
pemerintah merasa kebakaran jenggot, kasak-kusuk mematenkan kekayaan
intelektual, budaya, dan seni tanpa pernah menyadari dan mau berpikir logis
bahwa upaya pelestarian budaya bangsa (budaya nasional) bukanlah sesuatu yang
bersifat instan, spontan, dan parsial. Ia adalah sebuah proses panjang dari
generasi ke generasi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat bukan hanya
penguasa atau pemerintah tetapi juga khalayak ramai. Bahkan merupakan kebijakan
yang ditetapkan oleh negara dan dikuatkan melalui undang-undang, bukan untuk
kepentingan politik.
Sebenarnya
Pemerintah sendiri telah memahami arti penting kebudayaan dan peran
perpustakaan dalam pelestariannya. Untuk itu pemerintah mengaturnya dalam
berbagai produk perundang-undangan yaitu UU. no. 4/1990 tentang Serah Simpan
Karya Cetak dan Karya Rekam dilengkapi dengan PP 70/1991. Pasal 4 ayat © UU
4/1990, menyatakan salah satu tujuan perpustakaan adalah menyediakan wadah bagi
pelestarian hasil budaya bangsa, baik berupa karya cetak, maupun karya rekam,
melalui program wajib serah simpan karya cetak dan karya rekam sesuai dengan
Undang-Undang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Melanggar ketentuan ini
adalah tindakan pidana yang dapat dihukum penjara atau denda.
Kewajiban
serah-simpan karya cetak dan karya rekam yang diatur dalam Undang-undang ini
bertujuan untuk mewujudkan koleksi deposit nasional dan melestarikannya sebagai
hasil budaya bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu
kebijakan untuk melestarikan budaya nasional mestilah ditanamkan semenjak dini
dengan menimbulkan kecintaan dan kebanggaan terhadap budaya milik sendiri baik
secara pribadi melalui keluarga dan kelompok masyarakat, maupun secara
institusional melalui lembaga-lembaga pemerintah. Padahal sesungguhnya sudah
ada institusi di Indonesia yang sangat diandalkan dalam melestarikan warisan
budaya yaitu museum dan perpustakaan. Namun sayang selama ini keduanya kurang
difungsikan dalam tugas pelestarian warisan budaya.
Secara
fungsional institusi perpustakaan (termasuk arsip dan dokumentasi) dan museum
memiliki peran yang sama yaitu melestarikan khasanah budaya nasional di seluruh
wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Perbedaanya hanya terletak kepada
objek yang disimpan, dijaga, dilestarikan, diberdayakan, dan dilayankan . Kalau
museum adalah tempat menyimpan benda-benda berharga, sedangkan perpustakaan
menyimpan dokumen (arsip dan buku).
2.
Alih Media Digital
Benda-benda
warisan budaya baik yang berada di museum maupun yang terserak secara acak di
beberapa tempat, semakin lama semakin dimakan usia serta kemungkinan terjadinya
kerapuhan, kerusakan, dan kehilangan adalah besar sekali, sedangkan informasi
yang terkandung di dalamnya harus senantiasa bisa diakses untuk kepentingan
ilmu pengetahuan dan pembangunan bangsa. Maka koleksi yang ada harus
dilestarikan dengan cara mendigitalisasi atau mendokumentasikannya dalam format
digital. Bentuk format digital yang dihasilkan meliputi audio, video, gambar
atau tulisan. Proses konversi menjadi format digital ini disebut dengan
digitalisasi atau alih media digital.
Digitalisasi
berasal dari kata digit (angka), karena data atau informasi yang terkandung
dalam benda berformat digital ini, menurut sain atau ilmu komputer tersusun
dari angka-angka 0 dan 1. Agar data-data tersebut bisa dibaca kembali maka
diperlukan alat bantu membukanya yaitu personal komputer (PC) dan komputer
jinjing (laptop, notebook, netbook, dsb). Itulah sebabnya maka salah satu
syarat untuk mengadakan perpustakaan digital harus memiliki komputer sebagai
perangkat pembaca dan data itu sendiri dalam format digital.
Saat
ini bahan pustaka tercetak, terekam, mikro, elektronik, peta, lukisan,
manuskrip dan sebagainya berpotensi dialihkan ke bentuk digital. Pemanfaatan
teknologi informasi dapat mengatasi bahan pustaka tercetak dan terekam dari
kerentanan terhadap resiko rusak karena usia, penanganan yang keliru, metode
dan ruang penyimpanan yang tidak tepat, vandalisme, dan kelembaban. Alih bentuk
melalui tranformasi digital dapat menyelamatkan isi atau informasi yang
dikandung bahan pustaka tersebut tanpa menghilangkan atau merubah bentuk
aslinya.
Alih
media juga membuat diversifikasi bentuk dan layanan bahan pustaka karena
kemampuannya dalam menampilkan secara lebih menarik, halaman tak terbatas,
portabel, interaktif dan tahan lama. Alih media digital pada saat ini menjadi
suatu fenomena baru yang mulai banyak diperhatikan dan dibutuhkan dalam
penyebaran informasi maupun pelestarian informasi itu sendiri, sehingga akses
informasi menjadi cepat dan efisien.
Alih
media digital terutama bahan dokumen tercetak merupakan dasar dalam membangun
suatu koleksi digital yang nantinya akan dapat dipergunakan untuk berbagai
macam keperluan akses informasi maupun penyebaran informasi. Beberapa
keunggulan format digital diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, long
distance service, artinya pengguna bisa menikmati layanan sepuasnya, kapanpun
dan dimanapun. Kedua, akses yang mudah. Akses lebih mudah karena pengguna tidak
perlu mencari di katalog dengan waktu yang lama. Ketiga, murah (cost efective).
Mendigitalkan koleksi perpustakaan lebih murah dibandingkan dengan membeli
buku. Keempat, mencegah duplikasi dan plagiat. Format digital lebih aman,
sehingga tidak akan mudah untuh diplagiat. Bila penyimpanan koleksi
perpustakaan menggunakan format PDF, koleksi perpustakaan hanya bisa dibaca
oleh pengguna, tanpa bisa mengeditnya. Kelima, publikasi karya secara global.
Karya-karya dapat dipublikasikan secara global ke seluruh dunia dengan bantuan
internet. Dengan memanfaatkan teknologi alih media atau digitalisasi
secara tepat dan cermat kita optimistis bahwa warisana budaya bangsa akan
terhindar dari kerusakan, kepunahan, dan dirampas oleh pihak-pihak lain yang
tidak bertanggung jawab. Tugas tersebut terletak di tangan seluruh rakyat
Indonesia, bukan hanya pemerintah atau perpustakaan, musium, galeri, sanggar,
padepokan, dan sebagainya. Mari kita tumbuhkan kebanggaan memiliki budaya asli
sendiri dan semangat menjaga, merawat, dan melestarikannya.
sumber: arsip Indonesia
motto
- Warisan
budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
- Melestarikan budaya
nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar